Minggu, 08 Februari 2015

Yohanes Nangsiyo

Ayahku.
Beliau  adalah ayah juara nomor satu (meminjam istilah dari Andrea Hirata)
Beliau seperti gudang. Gudang cerita dan pengetahuan
Cerita tentang jaman sebelum merdeka
Tentang cacar yang dideritanya waktu itu dan pakaian goni berkutu yang menempel ditubuh kurusnya.
Jidat yang begitu luas menyiratkan pengetahuannya yang luas.
Senyum yang lembut menyuarakan kesabarannya.
Seseorang pernah bilang padaku, betapa mesranya kami.
Ya..karna waktu itu kusentil si upil dari hidungnya.
Kadang kemesraan dan kekurang ajaran itu tidak berbatas ^.^
Dulu aku pernah berpikir andai saja usianya lebih muda 10 tahun
Pastilah orang tidak salah mengira aku cucunya.
Ah…jahatnya aku ini.

Saat itu aku masih berseragam putih abu-abu
Saat duniaku runtuh untuk yang pertama kali
Beliau terserang stroke yang mengakibatkan kemampuan berbicaranya hilang
Tak bisa lagi bercengkerama, berdebat dan saling ejek
Memanggil namaku saja tak mampu.
Bukan ayahku kalau tanpa semangat.
Diusia yang senja, ayahku belajar membaca lagi, belajar berbicara.
Tiap pulang sekolah dengan putih abu-abu yang masih menempel
Ku ajari beliau membaca. Semangatnya sperti anak yang sudah sangat ingin bisa membaca.
Waktu berlalu, aku harus tinggal di Jogja untuk menempuh ilmu
Tak bisa lagi ku menemani untuk belajar.
Bukan ayahku kalau tanpa semangat.
Beliau mencoba membaca doa “Rama Kawula dan Sembah Bekti” tiap malam
Dengan terbata-bata dan pada akhirnya menjadi rangkaian doa yang indah.
Beliau mencoba untuk membaca doa Rosario, doa yang begitu panjang
Kadang aku malu pada dirku sendiri, enggan untuk berdoa demikian panjangnya
Tapi ayahku, dengan keterbatasan fisiknya mampu malantunkan doa dengan sempurna.
Saat aku dirumah, suara doanya menembus dinding tembok
Disebutkankanlah nama kami, anak-anaknya satu persatu
Nama kami selalu ada dalam doanya.

Saat ayahku menjalani operasi hernia
Tak ada satu keluhan keluar dari mulutnya.
Di usia yang semakin senja tentu sangat mengkwatirkan.
Bukan ayahku kalau tanpa semangat.
Para dokter dan susterpun heran dengan daya juang dan semangatnya.

Ya…usianya begitu senja, seakan malam sudah siap menjemput
Dan menelan dalam gelapnya.
Kini aku bersyukur bisa menemani ayahku melewati fase kehidupannya.
Beliau memiliki fase yang lengkap.
Mulai dari bayi, kanak-kanak, remaja, dewasa, tua, dan kembali menjadi anak-anak.
Kini ayahku menjadi seperti kanak-kanak lagi
Yang dibutuhkan adalah teman untuk bercanda untuk manghapu sepi.

Satu harapannya adalah melihatku menikah.
Semoga Bapa di Surga berkenan mengijinkan aku untuk sungkem di pangkuan ayahku

Ayah juara nomor satu.

By : Anast. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar